Mengikuti Jejak Freemasonry yang Masih ada di Indonesia
Mengikuti Jejak Freemasonry yang Masih ada di Indonesia – Freemasonry, organisasi persaudaraan para pemikir bebas, berkembang di seantero dunia sejak abad ke-14. Di Indonesia, jejak Freemasonry tidak hanya bisa dilihat dari bangunan atau simbol-simbol tetapi juga melalui para tokoh dan pemikirannya. Memasuki halaman depan Museum Prasasti atau dikenal dengan Museum Taman Prasasti di Tanah Abang, Jakarta Pusat, pengunjung akan langsung disuguhi pemandangan deretan prasasti nisan yang tertempel di dinding bagian kanan dan kiri.
Dilihat dari anggaran dasarnya, tertulis freemason adalah pandangan hidup jiwa yang timbul dari dorongan batin, yang mengungkapkan dirinya dalam upaya berkesinambungan untuk mengembangkan semua sifat roh dan hati nurani yang dapat mengangkat manusia dan umat manusia ke tingkat susila dan moral yang lebih tinggi.
Freemasonry hadir ke Indonesia di bawa oleh orang-orang Belanda pada abad ke-18. Adapaun tokoh sentralnya adalah Jacob Cornelis Mattheus Radermacher, putra seorang suhu agung (Ketua Umum) Freemason pertama di Belanda Joan Cornelis Radermacher. Nyatanya banyak meninggalkan jejaknya di Jakarta. Lohi-loji tempat beraktivitas para anggota kini masih berdiri tegak di sudut-sudut Ibu Kota.
Lokasi-Lokasi Loji Freemasonry
Sekilas, jika melintas di beberapa tempat mungkin tidak tebayang, tempat tersebut merupakan markas di mana para anggota Freemason pernah bersarang.
Sebut saja gedung Kimia Farma yang terletak di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Menurut Th Stevens gedung tersebut permaj di fungsikan sebagai loji antara tahun 1854 dan 1934. Pada masa itu, loji ini terkenal dengan sebutan nama De Stre in het Oosten atau Bintang Timur. Dulu, jalan yang berada di depan loji ini bernama Jalan Vrikmetselaar weg atau kalau di terjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti jalan Freemason.
Baca Juga : Fakta Menarik Muntahan Paus Berharga Fantastis Kok Bisa ?
Loji ini kemudian di pindahkan ke sebuah gedung baru yang di namakan Adhue Stat, kini menjadi gedung Bappenas. Jalan Suropati, Jakarta Pusat bangunan ini bernuansa kolonial. Atap-atapnya pun tinggi menjulang, bukan layaknya kebanyakan bangunan di Indonesia. Dari informasi seorang staf Bappenas yang telah bekerja puluhan tahun di sana. Di lantai paling atas gedung ini, dulu para anggota Freemason di Hindia Belanda mengadakan pertemuan.
Simbol-simbol Freemason di Museum Prasasti
Selain tiket di genggaman, pandangan mata langsung pada nisan-nisan model Belanda yang berukuran besar. Dari penuturan seorang pemandu museum, dulunya nisan-nisan tersebut “berpenghuni”. Namun, karena hendak di jadikan museum, mayat yang ada di pindahkan atau di pulangkan ke tempat asalnya.
Di sana mayoritas adalah nisan orang-orang Belanda. Namun, ada juga nisan bertuliskan huruf China, Ibrani dan juga tokoh muda Soe Hok Gie. Di museum seluas 1,8 hektar itu, beberapa nisan terukir di dalamnya simbol-simbol yang erat dengan freemason. Kamu akan menjumpai nisan yang terukir di dalamnya jam pasir.
Makam tersebut milik Nicolas Pascal yang meninggal tahun 1822. Jam pasir melambangkan wkatu yang kekal dikehidupan manusia yang hanya sebentar. Selain itu, benda ini juga dianalogikan sebagai simbol antara atas dan bawah atau langit dan bumi. Langkah kaki kemudian bergerak ke sisi yang lain. Layaknua museum pribadi, di tempat yang luas ini hanyalah saya seorang diri pengunjung yang datang.
Kamu juga akan melihat simbol Freemason dengan simbol tengkorak dan tulang yang bersilang. Simbol tersebut terdapat di makam J.H Horst yang meninggal tahun 1849. Simbol ini merujuk pada sifat dunia yang sementara dan seruan kebangkitan spiritual serta intelektual.